Translate

Rabu, 14 Agustus 2013

KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH (Analisis Rasio Kinerja Keuangan Daerah Kota Palangkaraya Sebelum OTDA, Sesudah OTDA dan Pasca OTDA Sumber APBD Tahun 1997 s/d 2012)



Pendahuluan
Dalam rangka menyelenggarakan pemerintah daerah sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pemerintah daerah yang mengatur dan mengurus urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintahan daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan.
Sistem akuntansi keuangan daerah menggunakan stelsel kameral (tata buku anggaran).  Menurut sistem pembukuan ini, dasar pemilihan tata buku, yaitu stelsel kameral dan bukannya stelsel komersiil (tata buku kembar/berpasangan), merupakan tujuan pembukuan.  Karena tujuan pembukuan keuangan daerah di era pra reformasi adalah pembukuan pendapatan, maka tata buku yang lebih tepat untuk digunakan adalah stelsel kameral. Jika tujuan pembukuan keuangan daerah adalah pembukuan harta, maka tata buku yang tepat untuk digunakan adalah stelsel komersiil.  Pada stelsel kameral, diperolehnya pendapatan adalah pada saat penerimaan, sedangkan pembiayaan terjadi pada saat dilakukan pembayaran.  Oleh karena itu, stelsel kameral ini juga disebut tata buku kas.
Di era (pasca) reformasi, bentuk APBD mengalami perubahan yang cukup mendasar.  Bentuk APBD yang pertama didasari oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, Dan Pengawasan Keuangan Daerah, Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.  Sejalan dengan perubahan yang terjadi, bentuk APBD sekarang ini didasari pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. 

Peraturan-peraturan di era reformasi keuangan daerah mengisyaratkan agar laporan keuangan semakin informatif.  Untuk itu, dalam bentuk yang baru, APBD terdiri atas tiga bagian, yaitu pendapatan, belanja, dan pembiayaan.  Pembiayaan merupakan kategori baru yang belum ada pada APBD di era prareformasi.  Adanya pos pembiayaan merupakan upaya agar APBD semaki informatif, yaitu memisahkan pinjaman dari pendapatan daerah.  Hal ini sesuai dengan definisi pendapatan sebagai hak Pemda, sedangkan pinjaman belum tentu menjadi hak Pemda.  Selain itu, dalam APBD meungkin terdapat surplus atau defisit.  Pos pembiayaan ini merupakan alokasi surplus atau sumber penutupan defisit anggaran.

Adapun tujuan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal menurut UU No. 32 Tahun 2005 adalah untuk meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan fiskal pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Dalam otonomi daerah terdapat dua aspek kinerja keuangan yang dituntut agar lebih baik dibandingkan sebelum otonomi daerah. Aspek pertama adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus pembiayaan daerah dengan kekuatan utama pada kemampuan Pendapatan Asli Daerah (Desentralisasi Fiskal). Aspek kedua yaitu di sisi manajemen pengeluaran daerah, bahwa pengelolaan keuangan daerah harus lebih akuntabel dan transparan tentunya menuntut daerah agar lebih efisien dan efektif dalam pengeluaran daerah. Kedua aspek tersebut dapat disebut sebagai reformasi pembiayaan atau Financing Reform. Maka untuk mencapai pembangunan suatu negara diperlukan adanya pembiayaan dengan sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien. Pembiayaan suatu daerah diperoleh dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang disusun setiap Tahun oleh pemerintah daerah beserta satuan kerjanya guna memenuhi pelayanan publik. Berdasarkan PP No. 105 tahun 2000 menyatakan bahwa APBD disusun berdasarkan pendekatan kinerja.
Sehingga penting bagi pemerintah daerah untuk menaruh perhatian yang lebih besar terhadap kinerja pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan secara ekonomis, efisien, dan efektif atau memenuhi prinsip value for money serta partisipatif, transparansi, akuntabilitas dan keadilan akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi serta kemandirian suatu daerah. Dengan demikian maka suatu daerah yang kinerja keuangannya dinyatakan baik berarti daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui kinerja pengelolaan keuangan daerah dan tingkat kemandirian Pemerintah Daerah Kota Palangkaraya berdasarkan analisis Rasio Keuangan mulai dari pra OTDA, OTDA, pasca OTDA.
Kemampuan keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh daerah yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pemberian otonomi daerah yang lebih besar kepada daerah. PAD selalu dipandang sebagai salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD kepada APBD maka akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat sebagai konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah dari prinsip secara nyata dan bertanggung jawab.
Analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Dan Analisis rasio keuangan pemerintah terdiri dari:
  1. Rasio kemandirian keuangan daerah;
  2. Rasio Efektivitas dan Efisiensi PAD
  3. Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
  4. Rasio Aktivitas
  5. Rasio Pertumbuhan
  6. Rasio Kontribusi

 Adapun pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan pada APBD adalah:
  1. DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarakat).
  2. Pihak eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD periode selanjutnya
  3. Pemerintah pusat/provinsi sebagai bahan input (masukan) dalam membina pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.
  4. Masyarakat dan kreditur, sebagai pihak yg akan turut memiliki saham pemda, bersedia memberikan pinjaman atau membeli obligasi.

Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
                                PENDAPATAN ASLI DAERAH
RASIO KEMANDIRIAN =              
                                                           BANTUAN PEM PUSAT/ PROVINSI  DAN PINJAMAN
 
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah dan demikian pula sebaiknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.


 


Tabel 1 Analisis Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kota Palangkaraya
Tahun
REALISASI PAD
Bantuan Pemerintah Pusat/ Provinsi  dan pinjaman
Rasio Kemandirian
1997/1998
2.508.979.663,48
25.902.382.281,13
9,69%
1998/1999
3.908.862.053,00
96.016.809.979,00
4,07%
1999/2000
3.351.057.821,00
51.880.702.039,00
6,46%
2000
3.520.850.000,00
60.484.385.920,00
5,82%
2001
4.777.180.000,00
110.030.170.000,00
4,34%
2002
7.741.340.000,00
154.702.680.000,00
5,00%
2003
8.981.600.000,00
186.480.910.000,00
4,82%
2004
10.107.040.000,00
190.853.610.000,00
5,30%
2005
13.666.410.000,00
211.671.890.000,00
6,46%
2006
17.550.620.000,00
342.213.200.000,00
5,13%
2007
26.084.865.283,38
390.970.642.480,00
6,67%
2008
23.187.580.441,21
469.999.079.829,00
4,93%
2009
22.526.086.631,55
500.220.631.183,00
4,50%
2010
25.815.783.567,08
504.667.479.253,00
5,12%
2011
34.732.637.782,06
607.602.117.142,00
5,72%
2012
34.046.543.400,00
440.288.360.200,00
7,73%
Sumber: Data didapat dari Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Palangkaraya (diolah)
Semakin tinggi rasio kemandirian berarti tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pihak eksternal semakin rendah, semakin tinggi ratio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dlm membayar pajak dan retribusi daerah, yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah.
Berdasarkan rasio kemandirian keuangan diatas kemampuan pemerintah daerah dalam dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat pada era sebelum atau pra OTDA mengalami penurunan sebesar 58% dari tahun sebelumnya, hal ini menunjukan kemampuan kemandirian pemerintah daerah saat itu masih rendah dan disebabkan pemerintah kota Palangkaraya masih bertumpu pada dana transfer dari pemerintah seperti pos dana bagi hasil pajak pendapatan, pos bagian sumbangan, pos bagian penerimaan pembangunan saat itu sangat besar. Pada era OTDA rasio kemandirian mengalami peningkatan, hal positifnya  transfer pemerintah pusat dan provinsi berkurang lebih dari 50% dari era sebelum OTDA namun tidak diimbangi dengan realisasi PAD yang mengalami peningkatan meskipun kemudian pada tahun 2000 rasio kemandirian mengalami penurunan namun tidak signifikan. Pasca OTDA dari tahun 2001 sampai 2012 kenaikan dan penurunan masih tidak terlalu menunjukan hal yang signifikan meskipun dari tahun ke tahun realisasi PAD mengalami peningkatan serta bantuan pemerintah pusat dan provinsi juga semakin besar, partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah namun masih belum bisa menutupi dana transfer dari pusat dan provinsi.
Rasio Efektivitas
Rasio Efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Semakin tinggi rasio efektivitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik.
 





Tabel 2 Analisis Rasio Efektivitas APBD Kota Palangkaraya
Tahun
TARGET PAD
REALISASI PAD
Rasio Efektivitas
1997/1998
2.269.646.750,00
2.508.979.663,48
110,54%
1998/1999
2.526.532.720,00
3.908.862.053,00
154,71%
1999/2000
3.044.917.390,00
3.351.057.821,00
110,05%
2000
3.432.826.530,00
3.520.850.000,00
102,56%
2001
4.962.060.630,00
4.777.180.000,00
96,27%
2002
8.012.000.000,00
7.741.340.000,00
96,62%
2003
15.783.250.000,00
8.981.600.000,00
56,91%
2004
11.603.750.000,00
10.107.040.000,00
87,10%
2005
12.026.100.000,00
13.666.410.000,00
113,64%
2006
12.739.100.000,00
17.550.620.000,00
137,77%
2007
15.010.000.000,00
26.084.865.283,38
173,78%
2008
23.537.349.977,00
23.187.580.441,21
98,51%
2009
27.203.000.000,00
22.526.086.631,55
82,81%
2010
32.300.000.000,00
25.815.783.567,08
79,93%
2011
45.400.000.000,00
34.732.637.782,06
76,50%
2012
49.017.250.000,00
34.046.543.400,00
69,46%
Sumber: Data didapat dari Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Palangkaraya (diolah)
Kemampuan daerah dikategorikan efektif jika ratio efektifitas yang  dicapai minimal 100 %, semakin tinggi semakin baik.

Berdasarkan rasio efektivitas diatas pengelolaan keuangan daerah pada era sebelum OTDA naik cukup signifikan lebih dari 28%  hal ini cukup baik artinya berjalan dengan efektif, realisasi PAD lebih besar dari target PAD. Pada masa OTDA  rasio efektivitas turun kembali ke tingkat rasio semula yaitu 110,05% dan semakin turun hingga ke tingkat rasio 102,56% namun masih relatif efektif. Pada era pasca OTDA pengelolaan keuangan daerah berjalan tidak efektif selama beberapa tahun, rata-rata penurunannya pada tingkat rasio 97,84% artinya realisasi PAD tidak mencapai target ada penurunan realisasi pada beberapa pos-pos PAD seperti pajak dan retribusi daerah, Realisasi PAD yang positif efektif ada di kisaran tahun 2005 sampai dengan 2007.

Rasio Aktivitas
Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase belanja investasi (belanja pembangunan) yang digunakan untuk sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Rasio aktivitas ini menggambarkan atau mengukur aktivitas dan yang digunakan dalam kegiatan di daerah.Debt Service Coverage Ratio (DSCR) merupakan perbandingan antara jumlah PAD, bagian Daerah (BD) dari pajak bumi dan bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), penerimaan sumber daya alam, dan bagian daerah lainnya serta Dana Alokasi Umum (DAU) setelah dikurangi Belanja Wajib (BW), dengan pemjumlahan angsuran pokok, bunga, biaya pinjaman lainnya yang jatuh tempo.


 



Tabel 4 Analisis Rasio Aktivitas APBD Kota Palangkaraya
Tahun
REALISASI PAD
DAU
BD
Belanja Wajib
Pembayaran Bunga dan Pokok Pinjaman
Debt Service Covarege Ratio
1997/1998
2.508.979.663,48
-
5.513.363.848,13
6.819.141.192,00
226.614.650,00
5,31
1998/1999
3.908.862.053,00
-
29.492.753.850,00
40.022.785.000,00
-
0
1999/2000
3.351.057.821,00
-
6.341.314.327,00
22.831.015.946,00
234.173.781,00
-56,11
2000
3.520.850.000,00
-
5.480.000.000,00
31.905.620.500,00
500.000.000,00
-45,81
2001
4.777.180.000,00
89.545.630.000,00
17.230.910.000,00
81.882.870.000,00
2.162.640.000,00
13,72
2002
7.741.340.000,00
124.428.340.000,00
21.059.500.000,00
94.622.710.000,00
1.096.280.000,00
53,46
2003
8.981.600.000,00
151.829.300.000,00
23.331.270.000,00
126.060.240.000,00
-
0
2004
10.107.040.000,00
155.420.900.000,00
22.702.710.000,00
133.635.910.000,00
-
0
2005
13.666.410.000,00
158.298.000.000,00
18.988.940.000,00
133.455.630.000,00
-
0
2006
17.550.620.000,00
272.329.000.000,00
20.589.430.000,00
187.745.570.000,00
-
0
2007
26.084.865.283,38
35.285.524.331,00
333.165.081.547,00
182.287.869.521,44
477.352.920,55
444,63
2008
23.187.580.441,21
330.018.672.000,00
28.343.152.645,00
288.387.438.994,39
448.054.471,96
207,93
2009
22.526.086.631,55
334.308.134.000,00
32.449.320.127,00
336.408.295.474,08
418.862.472,00
126,24
2010
25.815.783.567,08
341.320.280.000,00
37.858.714.333,00
318.736.761.423,00
391.439.015,00
220,36
2011
34.732.637.782,06
386.393.123.000,00
40.263.238.314,00
424.227.951.122,00
2.433.305.514,27
15,27
2012
34.046.543.400,00
344.837.115.000,00
30.234.939.360,00
325.998.431.300,00
1.841.284.675,60
45,14
Sumber: Data didapat dari Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Palangkaraya (diolah)
  1. Ketentuan yang menyangkut persyaratan
a.       Jumlah kumulatif pinjaman daerah yang wajib dibayar maksimal 75% dari penerimaan pad tahun sebelumnya
b.      Debt service coperage ratio (DSCR) minimal 2,5

  1. Ketentuan yang menyangkut penggunaan pinjaman
a.       Pinjaman jangka panjang digunakan untuk membiayai pembangunan yang  dapat menghasilkan penerimaan kembali untuk pembayaran pinjaman dan pelayanan masyarakat
b.      Pinjaman jangka pendek untuk pengaturan arus kas

  1. Ketentuan yang menyangkut prosedur
a.       Mendapat persetujuan dari dprd
b.      Dituangkan dalam kontrak

Berdasarkan DSCR diatas pada masa pra OTDA berada diatas 2,5x yaitu 5,31 artinya bisa dikatakan kinerja keuangan daerah saat itu bisa dikatakan baik, meskipun tidak ada DAU namun besarnya penerimaan bagi hasil pajak bumi dan bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), penerimaan sumber daya alam, dan bagian daerah lainnya bisa menutupi. Kenaikan yang sangat signifikan Bagian Daerah (BD) mencapai 83% dan Belanja Wajib mencapai 85%  namun tidak didukung oleh ketiadaan pembayaran bunga dan pokok pinjaman. Pada masa OTDA, kinerja keuangan kondisinya kurang baik karena hasilnya dibawah 2,5x yaitu -56,11 dan -45,81 hal ini dikarenakan penurunan realisasi BD dari tahun sebelumnya serta terlalu besar biaya yang digunakan untuk belanja pegawai serta tidak adanya DAU akibatnya pemerintah daerah tidak dapat mengoptimalkan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan. Pada masa pasca OTDA baru mulai diperkenalkan dalam dana perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) yang bersumber dari APBN sehingga DSCRnya bisa tertutupi dan kinerja keuangan berjalan dengan baik. Pada tahun 2001 ke 2002 DSCR naik menjadi 53,46, tidak dibarengi dengan tahun 2003-2006 karena tidak mempunyai pembayaran bunga dan pokok pinjaman, namun kenaikan yang cukup signifikan pada tahun 2007 yaitu nilai rasio DSCR sebesar 444 dikarenakan besarnya jumlah realisasi BD sebesar Rp 333.165.081.547,00 yang merupakan bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak. Hingga pada tahun 2008 s/d 2012 mengalami penurunan nilai rasio DSCR dan penurunan yang cukup signifikan yaitu terjadi pada tahun 2011 penurunan sebanyak 93% dari tahun sebelumnya menjadi 15,27 meskipun naik kembali 45.14 hal ini disebabkan membengkaknya belanja bunga dan pokok pinjaman sehingga kondisi ini dikhawatirkan dapat mengganggu kinerja keuangan daerah.
Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu mendapat perhatian.



Tabel 5 Analisis Rasio Pertumbuhan APBD Kota Palangkaraya
Tahun
REALISASI PAD
RPPAD Xn – X n-1
Rasio Pertumbuhan
1997/1998
2.508.979.663,48
203.735.499,48
8,84%
1998/1999
3.908.862.053,00
1.399.882.389,52
55,79%
1999/2000
3.351.057.821,00
(557.804.232,00)
-14,27%
2000
3.520.850.000,00
169.792.179,00
5,07%
2001
4.777.180.000,00
1.256.330.000,00
35,68%
2002
7.741.340.000,00
2.964.160.000,00
62,05%
2003
8.981.600.000,00
1.240.260.000,00
16,02%
2004
10.107.040.000,00
1.125.440.000,00
12,53%
2005
13.666.410.000,00
3.559.370.000,00
35,22%
2006
17.550.620.000,00
3.884.210.000,00
28,42%
2007
26.084.865.283,38
8.534.245.283,38
48,63%
2008
23.187.580.441,21
(2.897.284.842,17)
-11,11%
2009
22.526.086.631,55
(661.493.809,66)
-2,85%
2010
25.815.783.567,08
3.289.696.935,53
14,60%
2011
34.732.637.782,06
8.916.854.214,98
34,54%
2012
34.046.543.400,00
(686.094.382,06)
-1,98%
Sumber: Data didapat dari Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Palangkaraya (diolah)
Rasio ini mengukur seberapa besar kemampuan pemda dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapainya dari periode ke periode berikutnya dilihat dari realisasi pendapatan daerah.
Berdasarkan rasio pertumbuhan PAD diatas pertumbuhan APBD kota Palangkaraya pada era pra OTDA mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan hal ini terlihat dari kenaikan sebesar 85% dari realisasi PAD tahun sebelumnya menunjukan bahwa ada kenaikan dan meningkatnya minat masyarakat akan membayar pajak dan retribusi daerah sehingga membantu meningkatkan laju perekonomian daerah dan kinerja keuangan daerah berjalan positif. Namun hal ini tidak didukung realisasi PAD pada masa OTDA, penurunan drastis disebabkan pos pajak dan retribusi daerah dan pos lain termasuk dalam PAD tidak mengalami peningkatan sehingga rasio pertumbuhan keuangan daerah menjadi negatif, pada tahun 2000 tingkat pertumbuhan mulai merangkak positif naik ke tingkai nilai rasio pertumbuhan 5%. Pada masa pasca OTDA dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2007 trend tingkat rasio pertumbuhan mulai stabil, kenaikan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2002 hampir 40% pendapatan terserap melalui pajak dan retribusi daerah dan hal ini sangat menguntung kan pemda Palangkaraya untuk meningkatkan kinerja keuangannya. Tingkat pertumbuhan realisasi PAD dengan nilai negatif ada pada tahun 2008 dan 2009, namun ditahun 2009 terlihat usaha pemda kota Palangkaraya untuk menurunkan nilai rasio pertumbuhan menjadi dari -11% menjadi -2%, hingga 2010 dan2011 realisasi PAD meningkat meskipun ditahun 2012 penurunan PAD  namun tidak terlalu signifikan.
Rasio Kontribusi
Rasio kontribusi ini untuk mengetahui seberapa besar kontribusi penerimaan komponen dalam PAD terhadap pendapatan asli daerah setiap tahunnya dalam persentase, dapat dihitung dari realisasi jumlah pajak / retribusi daerah dibandingkan dengan jumlah PAD pada tahun anggaran yang sama.



Tabel 6 Analisis Rasio Kontribusi APBD Kota Palangkaraya
Tahun
REALISASI PAD
Pajak Daerah
Retribusi daerah
Rasio Kontribusi
1997/1998
 2.508.979.663,48
1.072.875.768,00
1.160.381.577,00
89,01%
1998/1999
 3.908.862.053,00
1.491.008.000,00
1.619.475.677,00
79,58%
1999/2000
 3.351.057.821,00
2.034.726.274,00
926.458.146,00
88,37%
2000
 3.520.850.000,00
1.958.800.000,00
841.050.000,00
79,52%
2001
 4.777.180.000,00
2.597.640.000,00
1.769.740.000,00
91,42%
2002
 7.741.340.000,00
3.765.900.000,00
3.063.530.000,00
88,22%
2003
 8.981.600.000,00
4.868.430.000,00
3.101.530.000,00
88,74%
2004
10.107.040.000,00
5.097.090.000,00
3.325.300.000,00
83,33%
2005
13.666.410.000,00
5.849.020.000,00
3.638.990.000,00
69,43%
2006
17.550.620.000,00
6.810.870.000,00
4.864.440.000,00
66,52%
2007
26.084.865.283,38
9.450.405.272,35
7.608.898.970,50
65,40%
2008
23.187.580.441,21
9.173.436.279,00
8.446.860.418,00
75,99%
2009
22.526.086.631,55
10.116.829.715,00
8.107.139.926,00
80,90%
2010
25.815.783.567,08
13.858.506.914,00
7.964.837.084,00
84,53%
2011
34.732.637.782,06
23.188.668.150,26
8.653.971.962,00
91,68%
2012
34.046.543.400,00
22.923.522.450,00
6.681.839.697,00
86,96%
Sumber: Data didapat dari Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Palangkaraya (diolah)
Hasil rasio keuangan tersebut selanjutnya akan digunakan untuk tolak ukur dalam:
  1. Mengukur efektifitas dalam merealisasikan pendapatan daerah.
  2. Melihat pertumbuhan / perkembangan perolehan pendapatan yang terjadi selama periode waktu tertentu.
  3. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.

Rasio kontribusi diatas menunjukan bahwa pada masa pra OTDA kenaikan realisasi PAD, pajak dan retribusi daerah tidak diimbangi oleh nilai rasio kontribusi hal ini dikarenakan kenaikan pajak dan retribusi daerah masing-masing kenaikannya hanya 28% dari tahun sebelumnya, sehingga dapat dikatakan pada saat itu pajak dan retribusi daerah kontribusinya masih kurang dalam meningkatkan PAD. Pada era OTDA rasio kontribusi mengalami peningkatan cukup signifikan 88.37% namun kontribusi retribusi sangat kurang turun 43% dari tahun sebelum OTDA kemudian mengalami penurunan kembali ditahun 2000 turun 10% dan kontibusi pajak daerah juga megalami penurunan ditahun 2000 namun tidak terlalu signifikan. Pasca OTDA trendnya rasio kontribusi fluktuatif meskipun PAD  relatif mengalami peningkatan, sektor pajak dan retribusi daerah juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 s/d 2008 nilai rasio kontribusi kurang optimal meskipun kenaikan dari pajak dan retribusi daerah signifikan. Pada tahun 2001 dan 2011 rasio kontribusi menunjukan nilai yang optimal 91,42% dan 91,68% bisa dikatakan pada tahun tersebut kontribusi pajak dan retribusi daerah sangat besar. Rata-rata nilai rasio kontribusi 81% hal ini menunjukan bahwa pada era pasca OTDA kinerja keuangan daerah relatif stabil peningkatan PAD diimbangi dengan kontribusi pajak dan retribusi daerah.
Grafik1
Sumber: Data didapat dari Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Palangkaraya (diolah)





Grafik 2
Sumber: Data didapat dari Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Palangkaraya (diolah)

Kesimpulan
Kinerja Keuangan Daerah Pra OTDA (1997/1998)
Rasio kemandirian pada masa pra OTDA relatif  kecil seperti pajak daerah, retribusi daerah laba badan usaha milik daerah pos penerimaan dari dinas-dinas, karena pendapatan PAD belum dapat dinikmati sepenuhnya oleh daerah karena masih tersedot kepusat,  rasio efektivitas mengalami peningkatan karena masih diatas 100% dan realisasi PAD lebih besar dibandingkan target yang direncanakan daerah.  Rasio aktivitas dimana alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan belum optimal karena konteksnya pada saat itu tidak ada DAU bantuan pemerintah saat itu masih dalam bentuk pos Bagian Sumbangan dan Bantuan serta Bagian Penerimaan Pembangunan. Rasio pertumbuhan mengalami peningkatan yang signifikan kontribusi pajak dan retribusi daerah besar dan keberhasilan kinerjanya masih bisa dipertahankan. Rasio kontribusi masih stabil tapi tidak dapat mengimbangi kenaikan rasio pajak dan retribusi daerah yang menopang realisasi PAD
Penyelenggaraan pemerintah daerah saat itu mengacu pada UU No.5 tahun 1974 dan UU No.5 tahun 1979 yang sifatnya masih otonomi yang diharapkan pemerintah pusat kepada daerah, saat tahun tersebut era pemerintahan Orde Baru yang menuju masa transisi yang sistem pemerintahannya terpusat atau sentralisasi dan belum ada pemerataan perekonomian ke semua wilayah. Meskipun dalam peraturan terdapat asas pembantuan, asas dekonsentrasi dan asas desentralisasi dimana urusan yang diserahkan sebagai pelaksanaan asas desentralisasi akan tetapi tanggung jawab terakhir terhadap urusan tersebut tetap berada ditangan pemerintah pusat dan ADRT daerah tetap diatur oleh pemerintah. Hal ini menunjukan bahwa selama itu pemerintah pusat tidak berani melepaskan secara sifat daerah yang dikatakan otonom dan memberikan bukti bahwa kinerja keuangan daerah saat itu kondisinya labil meskipun masih berjalan tapi tetap pengelolaan terakhir dipegang pemerintah pusat sehingga semua kekayaan daerah lebih banyak dinikmati pusat.
Kinerja Keuangan Daerah OTDA (1999/2000)
Rasio kemandirian pada masa OTDA mengalami penurunan begitu juga dengan realisasi PAD dan bantuan pemerintah dan provinsi dari tahun sebelum OTDA penyerapan dana ini memunculkan pos baru seperti Pos Subsidi Daerah Otonom dan beberapa pos yang berganti nama. Rasio efektivitas meskipun mengalami penurunan setelah tahun sebelum OTDA namun realisasi PAD lebih besar dibandingkan target PAD diatas 100% kinerja keuangan daerah saat itu sangat efektif. Rasio aktivitas kinerja keuangan negatif artinya masih dalam kondisi ketimpangan kemampuan keuangan daerah karena pada saat masih belum ada DAU karena saat itu yang penyerapan dana di pos Subsidi Daerah Otonom  yang nantinya digantikan oleh Dana Alokasi Umum (DAU) hal ini menunjukan bahwa prioritas alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan belum optimal. Rasio pertumbuhan menunjukan bahwa realisasi PAD berkurang dari tahun sebelumnya sehingga menyebakan nilai rasio pertumbuhannya negatif artinya pemda tidak mampu menunjukan kinerja keuangan yang berdampak baik karena tidak bisa mempertahankan dan tidak mampu melanjutkan keberhasilan realisasi PAD dari tahun sebelumnya. Rasio kontribusi menunjukan kontribusi dari retribusi daerah masih minim karena tidak mampu menembus diatas 1 M, namun melalui rasio kontribusi kinerja keuangan daerah masih relatif stabil.
Pada tahun 1999 merupakan masa peralihan dari orde baru ke era reformasi pembenahan diberbagai bidang mulai dilakukan, masing-masing diberikan otonomi yang seluasnya untuk mengelola kekayaan daerahnya masing-masing. Pergantiaan peraturan yaitu diberlakukannya UU no.22 tahun 1999 pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas nyata dan bertanggung jawab dalam kewenangan yang luas selain dibidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan peradilan,moneter, agama, fiskal dan kewenangan bidang lain yang tidak termasuk bagian kewenangan daerah yang diatur undang-undang. Pada saat itu kondisi perekonomian Indonesia menunjukan adanya perbaikan laju PDB mulai merangkak positif  dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah, mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam mengerti sudah mulai stabil. Meskipun skala nasional stabilitas moneter mulai berjalan namun kinerja keuangan daerah kota Palangkaraya masih belum stabil karena banyak pembenahan secara reformasi didareah-daerah memperkuat otonominya masing.

Kinerja Keuangan Daerah Pasca OTDA (2001/2012)
Rasio kemandirian daerah pasca OTDA fluktuasi berjalan relatif stabil dalam artian dari tahun ke tahun daerah sudah bisa meningkatkan realisasi PAD hal tersebut diimbangi dengan pemberian bantuan dari pemerintah pusat/provinsi tingkat rasio kemandirian fluktuatif.dan perubahannya pun tidak signifikan. Rasio efektivitas berfluktuatif terhadap realisasi PAD, nilai rasio menunjukan tahun 2001 dan 2002 cukup efektif, tahun 2003 nilai rasio tidak efektif  karena < dari 75%, sebaliknya nilai rasio tahun 2005-2007 sangat efektif, namun secara keseluruhan kinerja keuangan dilihat dari rasio efektivitas cukup efektif. Rasio Aktivitas didukung oleh adanya Dana Alokasi Umum sehingga kontribusinya signifikan selama beberapa periode, jika pembiayaan kondisi defisit maka daya dukung realisasi PAD dan dana pemberian pemerintah bisa menutupi belanja wajib dan kesanggupan pemda untuk tidak memakai hutang jangka panjang untuk membiayai belanja daerah.Meskipun di dukung DAU namun selama tahun 2003-2006 tidak ada pembayaran bunga dan pokok pinjaman, sedangkan pada tahun 2007-2010 nilai rasio DSCR sangat tinggi berarti priorotas dana ditujukan untuk belanja pembangunan Pinjaman jangka panjang digunakan untuk membiayai pembangunan yang  dapat menghasilkan penerimaan kembali untuk pembayaran pinjaman dan pelayanan masyarakat. Namun pada tahun 2011 dan 2012 nilai DSCR turun drastis prioritas dana kembali ditujukan untuk belanja rutin dibandingkan dengan belanja pembangunan. Rasio pertumbuhan menunjukan hasil yang fluktuatif, sempat beberapa kali nilai rasio pertumbuhannya negatif seperti ditahun 2008, 2009 dan 2012 pemda masih belum dapat meningkatkan kemampuan dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapainya selama beberpa periode, meskipun begitu kenaikan realisasi PAD stabil. Rasio kontribusi cenderung fluktuatif dan selama beberapa periode menujukan bahwa kontribusi pajak dan retribusi cukup efektif.

UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat lalu disusul dengan PP No.25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom menjadi tolak ukur bagi pemda kota Palangkaraya untuk melaksanakan kinerja keuangan daerah secara transparan dan akuntabilitas sehingga pemda diberi kesempatan untuk melaksanakan kewenangan untuk menggali potensi alam dan menggali sumber keuangan maupun PAD. Meskipun PAD secara umum meningkat, namun persentasenya terhadap total penerimaan masih di bawah 10%. Proyeksi Keberhasilan Terwujudnya akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bebas dari KKN. Aparatur pemerintah yang profesional, bertanggung jawab dan memiliki kopetensi yang sesuai dengan bidang tugasnya. Meningkatnya sumbangan PAD dalam total penerimaan APBD dan tercapai/terlampauinya target yang ditetapkan dalam RPJM. Pemerintah kota Palangkaraya mampu menunjukkan kinerja yang sesuai dengan harapan ditetapkannya sebagai salah- satu daerah percontohan penerapan good governance. Maka Kinerja Keuangan pemda kota Palangkaraya relatif stabil.

Daftar Pustaka
  1. http://palangkaraya.go.id/
  2. http://bappeda.palangkaraya.go.id/
  3. http://portal.kopertis2.or.id/jspui/bitstream/123456789/210/1/Rudi32.pdf
  4. http://dglib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=3188
  5. http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5Ckemandiriandaerah.pdf
  6. http://www.anneahira.com/otonomi-daerah.htm
  7. http://www.slideshare.net/doramey/rpjp-kota-palangka-raya
  8. http://www.slideshare.net/doramey/rpjp-kota-palangka-raya