Pendahuluan
Dalam rangka
menyelenggarakan pemerintah daerah sesuai dengan yang diamanatkan dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pemerintah daerah
yang mengatur dan mengurus urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintahan
daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi
secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan.
Sistem
akuntansi keuangan daerah menggunakan stelsel kameral (tata buku
anggaran). Menurut sistem pembukuan ini, dasar pemilihan tata buku, yaitu
stelsel kameral dan bukannya stelsel komersiil (tata buku kembar/berpasangan),
merupakan tujuan pembukuan. Karena tujuan pembukuan keuangan daerah di
era pra reformasi adalah pembukuan pendapatan, maka tata buku yang lebih tepat
untuk digunakan adalah stelsel kameral. Jika tujuan pembukuan keuangan daerah
adalah pembukuan harta, maka tata buku yang tepat untuk digunakan adalah
stelsel komersiil. Pada stelsel kameral, diperolehnya pendapatan adalah
pada saat penerimaan, sedangkan pembiayaan terjadi pada saat dilakukan
pembayaran. Oleh karena itu, stelsel kameral ini juga disebut tata buku
kas.
Di era (pasca) reformasi, bentuk APBD mengalami perubahan yang cukup
mendasar. Bentuk APBD yang pertama didasari oleh Keputusan Menteri Dalam
Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,
Pertanggungjawaban, Dan Pengawasan Keuangan Daerah, Serta Tata Cara Penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah,
dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Sejalan dengan perubahan yang terjadi, bentuk APBD sekarang ini didasari pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan-peraturan di era reformasi keuangan daerah mengisyaratkan agar
laporan keuangan semakin informatif. Untuk itu, dalam bentuk yang baru,
APBD terdiri atas tiga bagian, yaitu pendapatan, belanja, dan pembiayaan.
Pembiayaan merupakan kategori baru yang belum ada pada APBD di era
prareformasi. Adanya pos pembiayaan merupakan upaya agar APBD semaki
informatif, yaitu memisahkan pinjaman dari pendapatan daerah. Hal ini
sesuai dengan definisi pendapatan sebagai hak Pemda, sedangkan pinjaman belum
tentu menjadi hak Pemda. Selain itu, dalam APBD meungkin terdapat surplus
atau defisit. Pos pembiayaan ini merupakan alokasi surplus atau sumber
penutupan defisit anggaran.
Adapun tujuan
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal menurut UU No. 32 Tahun
2005 adalah untuk meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan fiskal
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Dalam otonomi daerah terdapat dua
aspek kinerja keuangan yang dituntut agar lebih baik dibandingkan sebelum
otonomi daerah. Aspek pertama adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus
pembiayaan daerah dengan kekuatan utama pada kemampuan Pendapatan Asli Daerah
(Desentralisasi Fiskal). Aspek kedua yaitu di sisi manajemen pengeluaran
daerah, bahwa pengelolaan keuangan daerah harus lebih akuntabel dan transparan
tentunya menuntut daerah agar lebih efisien dan efektif dalam pengeluaran
daerah. Kedua aspek tersebut dapat disebut sebagai reformasi pembiayaan atau Financing
Reform. Maka untuk mencapai pembangunan suatu negara diperlukan adanya
pembiayaan dengan sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional,
demokratis, transparan, dan efisien. Pembiayaan suatu daerah diperoleh dari Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang disusun setiap Tahun oleh pemerintah
daerah beserta satuan kerjanya guna memenuhi pelayanan publik. Berdasarkan PP No. 105 tahun 2000 menyatakan bahwa
APBD disusun berdasarkan pendekatan kinerja.
Sehingga penting
bagi pemerintah daerah untuk menaruh perhatian yang lebih besar terhadap
kinerja pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan
secara ekonomis, efisien, dan efektif atau memenuhi prinsip value for money serta
partisipatif, transparansi, akuntabilitas dan keadilan akan dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi serta kemandirian suatu daerah. Dengan demikian maka suatu
daerah yang kinerja keuangannya dinyatakan baik berarti daerah tersebut
memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui kinerja pengelolaan keuangan daerah dan tingkat
kemandirian Pemerintah Daerah Kota Palangkaraya
berdasarkan analisis Rasio Keuangan mulai dari pra OTDA, OTDA, pasca OTDA.
Kemampuan
keuangan suatu daerah dapat dilihat dari besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang diperoleh daerah yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pemberian
otonomi daerah yang lebih besar kepada daerah. PAD selalu dipandang sebagai
salah satu indikator atau kriteria untuk mengukur ketergantungan suatu daerah
kepada pusat. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD kepada APBD maka akan
menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat sebagai
konsekuensi pelaksanaan otonomi daerah dari prinsip secara nyata dan
bertanggung jawab.
Analisis keuangan adalah
usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Dan
Analisis rasio keuangan pemerintah terdiri dari:
- Rasio kemandirian keuangan daerah;
- Rasio Efektivitas dan Efisiensi PAD
- Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
- Rasio Aktivitas
- Rasio Pertumbuhan
- Rasio Kontribusi
Adapun pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan pada APBD adalah:
- DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarakat).
- Pihak eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD periode selanjutnya
- Pemerintah pusat/provinsi sebagai bahan input (masukan) dalam membina pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.
- Masyarakat dan kreditur, sebagai pihak yg akan turut memiliki saham pemda, bersedia memberikan pinjaman atau membeli obligasi.
Rasio Kemandirian Keuangan
Daerah
|
Tabel 1 Analisis Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kota
Palangkaraya
Tahun
|
REALISASI PAD
|
Bantuan Pemerintah Pusat/
Provinsi dan pinjaman
|
Rasio Kemandirian
|
1997/1998
|
2.508.979.663,48
|
25.902.382.281,13
|
9,69%
|
1998/1999
|
3.908.862.053,00
|
96.016.809.979,00
|
4,07%
|
1999/2000
|
3.351.057.821,00
|
51.880.702.039,00
|
6,46%
|
2000
|
3.520.850.000,00
|
60.484.385.920,00
|
5,82%
|
2001
|
4.777.180.000,00
|
110.030.170.000,00
|
4,34%
|
2002
|
7.741.340.000,00
|
154.702.680.000,00
|
5,00%
|
2003
|
8.981.600.000,00
|
186.480.910.000,00
|
4,82%
|
2004
|
10.107.040.000,00
|
190.853.610.000,00
|
5,30%
|
2005
|
13.666.410.000,00
|
211.671.890.000,00
|
6,46%
|
2006
|
17.550.620.000,00
|
342.213.200.000,00
|
5,13%
|
2007
|
26.084.865.283,38
|
390.970.642.480,00
|
6,67%
|
2008
|
23.187.580.441,21
|
469.999.079.829,00
|
4,93%
|
2009
|
22.526.086.631,55
|
500.220.631.183,00
|
4,50%
|
2010
|
25.815.783.567,08
|
504.667.479.253,00
|
5,12%
|
2011
|
34.732.637.782,06
|
607.602.117.142,00
|
5,72%
|
2012
|
34.046.543.400,00
|
440.288.360.200,00
|
7,73%
|
Sumber: Data didapat dari Dinas Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Palangkaraya (diolah)
Semakin tinggi rasio
kemandirian berarti tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap
bantuan pihak eksternal semakin rendah, semakin tinggi ratio kemandirian,
semakin tinggi partisipasi masyarakat dlm
membayar pajak dan retribusi daerah, yang merupakan komponen
utama pendapatan asli daerah.
Berdasarkan rasio kemandirian keuangan diatas
kemampuan pemerintah daerah dalam dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat pada era sebelum atau
pra OTDA mengalami penurunan sebesar 58% dari tahun sebelumnya, hal ini menunjukan
kemampuan kemandirian pemerintah daerah saat itu masih rendah dan disebabkan
pemerintah kota Palangkaraya masih bertumpu pada dana transfer dari pemerintah seperti
pos dana bagi hasil pajak pendapatan, pos bagian sumbangan, pos bagian
penerimaan pembangunan saat itu sangat besar. Pada era OTDA rasio kemandirian mengalami
peningkatan, hal positifnya transfer
pemerintah pusat dan provinsi berkurang lebih dari 50% dari era sebelum OTDA namun
tidak diimbangi dengan realisasi PAD yang mengalami peningkatan meskipun kemudian
pada tahun 2000 rasio kemandirian mengalami penurunan namun tidak signifikan.
Pasca OTDA dari tahun 2001 sampai 2012 kenaikan dan penurunan masih tidak
terlalu menunjukan hal yang signifikan meskipun dari tahun ke tahun realisasi
PAD mengalami peningkatan serta bantuan pemerintah pusat dan provinsi juga
semakin besar, partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah
namun masih belum bisa menutupi dana transfer dari pusat dan provinsi.
Rasio Efektivitas
Rasio Efektivitas
menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli
daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan
potensi riil daerah. Semakin tinggi rasio efektivitas, menggambarkan kemampuan
daerah yang semakin baik.
Tabel 2 Analisis Rasio Efektivitas APBD Kota Palangkaraya
Tahun
|
TARGET PAD
|
REALISASI PAD
|
Rasio Efektivitas
|
1997/1998
|
2.269.646.750,00
|
2.508.979.663,48
|
110,54%
|
1998/1999
|
2.526.532.720,00
|
3.908.862.053,00
|
154,71%
|
1999/2000
|
3.044.917.390,00
|
3.351.057.821,00
|
110,05%
|
2000
|
3.432.826.530,00
|
3.520.850.000,00
|
102,56%
|
2001
|
4.962.060.630,00
|
4.777.180.000,00
|
96,27%
|
2002
|
8.012.000.000,00
|
7.741.340.000,00
|
96,62%
|
2003
|
15.783.250.000,00
|
8.981.600.000,00
|
56,91%
|
2004
|
11.603.750.000,00
|
10.107.040.000,00
|
87,10%
|
2005
|
12.026.100.000,00
|
13.666.410.000,00
|
113,64%
|
2006
|
12.739.100.000,00
|
17.550.620.000,00
|
137,77%
|
2007
|
15.010.000.000,00
|
26.084.865.283,38
|
173,78%
|
2008
|
23.537.349.977,00
|
23.187.580.441,21
|
98,51%
|
2009
|
27.203.000.000,00
|
22.526.086.631,55
|
82,81%
|
2010
|
32.300.000.000,00
|
25.815.783.567,08
|
79,93%
|
2011
|
45.400.000.000,00
|
34.732.637.782,06
|
76,50%
|
2012
|
49.017.250.000,00
|
34.046.543.400,00
|
69,46%
|
Sumber: Data didapat dari Dinas Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Palangkaraya (diolah)
Kemampuan daerah dikategorikan efektif jika ratio efektifitas yang dicapai minimal 100 %, semakin tinggi semakin
baik.
Berdasarkan rasio
efektivitas diatas pengelolaan keuangan daerah pada era sebelum OTDA naik cukup
signifikan lebih dari 28% hal ini cukup
baik artinya berjalan dengan efektif, realisasi PAD lebih besar dari target
PAD. Pada masa OTDA rasio efektivitas
turun kembali ke tingkat rasio semula yaitu 110,05% dan semakin turun hingga ke
tingkat rasio 102,56% namun masih relatif efektif. Pada era pasca OTDA
pengelolaan keuangan daerah berjalan tidak efektif selama beberapa tahun,
rata-rata penurunannya pada tingkat rasio 97,84% artinya realisasi PAD tidak
mencapai target ada penurunan realisasi pada beberapa pos-pos PAD seperti pajak
dan retribusi daerah, Realisasi PAD yang positif efektif ada di kisaran tahun
2005 sampai dengan 2007.
Rasio Aktivitas
Rasio
ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya
pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi
persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti persentase
belanja investasi (belanja pembangunan) yang digunakan untuk sarana prasarana
ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Rasio aktivitas ini menggambarkan atau mengukur
aktivitas dan yang digunakan dalam kegiatan di daerah.Debt Service Coverage
Ratio (DSCR) merupakan perbandingan antara jumlah PAD, bagian Daerah (BD)
dari pajak bumi dan bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), penerimaan sumber daya alam, dan bagian daerah lainnya serta Dana
Alokasi Umum (DAU) setelah dikurangi Belanja Wajib (BW), dengan pemjumlahan
angsuran pokok, bunga, biaya pinjaman lainnya yang jatuh tempo.
Tabel 4 Analisis Rasio Aktivitas APBD Kota Palangkaraya
Tahun
|
REALISASI PAD
|
DAU
|
BD
|
Belanja Wajib
|
Pembayaran Bunga dan Pokok Pinjaman
|
Debt Service Covarege Ratio
|
1997/1998
|
2.508.979.663,48
|
-
|
5.513.363.848,13
|
6.819.141.192,00
|
226.614.650,00
|
5,31
|
1998/1999
|
3.908.862.053,00
|
-
|
29.492.753.850,00
|
40.022.785.000,00
|
-
|
0
|
1999/2000
|
3.351.057.821,00
|
-
|
6.341.314.327,00
|
22.831.015.946,00
|
234.173.781,00
|
-56,11
|
2000
|
3.520.850.000,00
|
-
|
5.480.000.000,00
|
31.905.620.500,00
|
500.000.000,00
|
-45,81
|
2001
|
4.777.180.000,00
|
89.545.630.000,00
|
17.230.910.000,00
|
81.882.870.000,00
|
2.162.640.000,00
|
13,72
|
2002
|
7.741.340.000,00
|
124.428.340.000,00
|
21.059.500.000,00
|
94.622.710.000,00
|
1.096.280.000,00
|
53,46
|
2003
|
8.981.600.000,00
|
151.829.300.000,00
|
23.331.270.000,00
|
126.060.240.000,00
|
-
|
0
|
2004
|
10.107.040.000,00
|
155.420.900.000,00
|
22.702.710.000,00
|
133.635.910.000,00
|
-
|
0
|
2005
|
13.666.410.000,00
|
158.298.000.000,00
|
18.988.940.000,00
|
133.455.630.000,00
|
-
|
0
|
2006
|
17.550.620.000,00
|
272.329.000.000,00
|
20.589.430.000,00
|
187.745.570.000,00
|
-
|
0
|
2007
|
26.084.865.283,38
|
35.285.524.331,00
|
333.165.081.547,00
|
182.287.869.521,44
|
477.352.920,55
|
444,63
|
2008
|
23.187.580.441,21
|
330.018.672.000,00
|
28.343.152.645,00
|
288.387.438.994,39
|
448.054.471,96
|
207,93
|
2009
|
22.526.086.631,55
|
334.308.134.000,00
|
32.449.320.127,00
|
336.408.295.474,08
|
418.862.472,00
|
126,24
|
2010
|
25.815.783.567,08
|
341.320.280.000,00
|
37.858.714.333,00
|
318.736.761.423,00
|
391.439.015,00
|
220,36
|
2011
|
34.732.637.782,06
|
386.393.123.000,00
|
40.263.238.314,00
|
424.227.951.122,00
|
2.433.305.514,27
|
15,27
|
2012
|
34.046.543.400,00
|
344.837.115.000,00
|
30.234.939.360,00
|
325.998.431.300,00
|
1.841.284.675,60
|
45,14
|
Sumber: Data didapat dari Dinas Pendapatan, Pengelolaan
Keuangan, dan Aset Kota Palangkaraya (diolah)
- Ketentuan yang menyangkut persyaratan
a.
Jumlah kumulatif pinjaman daerah yang wajib dibayar maksimal 75% dari
penerimaan pad tahun sebelumnya
b.
Debt service coperage ratio (DSCR)
minimal 2,5
- Ketentuan yang menyangkut penggunaan pinjaman
a.
Pinjaman jangka panjang digunakan untuk membiayai pembangunan yang dapat menghasilkan penerimaan kembali untuk
pembayaran pinjaman dan pelayanan masyarakat
b.
Pinjaman jangka pendek untuk pengaturan arus kas
- Ketentuan yang menyangkut prosedur
a.
Mendapat persetujuan dari dprd
b.
Dituangkan dalam kontrak
Berdasarkan DSCR diatas pada masa pra OTDA berada
diatas 2,5x yaitu 5,31 artinya bisa dikatakan kinerja keuangan daerah saat itu
bisa dikatakan baik, meskipun tidak ada DAU namun besarnya penerimaan bagi
hasil pajak bumi dan bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), penerimaan sumber daya alam, dan bagian daerah lainnya bisa menutupi.
Kenaikan yang sangat signifikan Bagian Daerah (BD) mencapai 83% dan Belanja Wajib
mencapai 85% namun tidak didukung oleh
ketiadaan pembayaran bunga dan pokok pinjaman. Pada masa OTDA, kinerja keuangan
kondisinya kurang baik karena hasilnya dibawah 2,5x yaitu -56,11 dan -45,81 hal
ini dikarenakan penurunan realisasi BD dari tahun sebelumnya serta terlalu
besar biaya yang digunakan untuk belanja pegawai serta tidak adanya DAU
akibatnya pemerintah daerah tidak dapat mengoptimalkan alokasi dananya pada belanja rutin dan
belanja pembangunan. Pada masa pasca OTDA baru mulai diperkenalkan dalam dana perimbangan
yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) yang bersumber dari APBN sehingga DSCRnya bisa
tertutupi dan kinerja keuangan berjalan dengan baik. Pada tahun 2001 ke 2002
DSCR naik menjadi 53,46, tidak dibarengi dengan tahun 2003-2006 karena tidak mempunyai
pembayaran bunga dan pokok pinjaman, namun kenaikan yang cukup signifikan pada
tahun 2007 yaitu nilai rasio DSCR sebesar 444 dikarenakan besarnya jumlah
realisasi BD sebesar Rp 333.165.081.547,00 yang merupakan bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan
pajak. Hingga pada tahun 2008 s/d 2012 mengalami penurunan nilai rasio DSCR dan
penurunan yang cukup signifikan yaitu terjadi pada tahun 2011 penurunan
sebanyak 93% dari tahun sebelumnya menjadi 15,27 meskipun naik kembali 45.14
hal ini disebabkan membengkaknya belanja bunga dan pokok pinjaman sehingga
kondisi ini dikhawatirkan dapat mengganggu kinerja keuangan daerah.
Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan (growth ratio)
mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan
meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode
berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber
pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi-potensi
mana yang perlu mendapat perhatian.
Tabel 5 Analisis Rasio Pertumbuhan APBD Kota Palangkaraya
Tahun
|
REALISASI PAD
|
RPPAD Xn – X n-1
|
Rasio Pertumbuhan
|
1997/1998
|
2.508.979.663,48
|
203.735.499,48
|
8,84%
|
1998/1999
|
3.908.862.053,00
|
1.399.882.389,52
|
55,79%
|
1999/2000
|
3.351.057.821,00
|
(557.804.232,00)
|
-14,27%
|
2000
|
3.520.850.000,00
|
169.792.179,00
|
5,07%
|
2001
|
4.777.180.000,00
|
1.256.330.000,00
|
35,68%
|
2002
|
7.741.340.000,00
|
2.964.160.000,00
|
62,05%
|
2003
|
8.981.600.000,00
|
1.240.260.000,00
|
16,02%
|
2004
|
10.107.040.000,00
|
1.125.440.000,00
|
12,53%
|
2005
|
13.666.410.000,00
|
3.559.370.000,00
|
35,22%
|
2006
|
17.550.620.000,00
|
3.884.210.000,00
|
28,42%
|
2007
|
26.084.865.283,38
|
8.534.245.283,38
|
48,63%
|
2008
|
23.187.580.441,21
|
(2.897.284.842,17)
|
-11,11%
|
2009
|
22.526.086.631,55
|
(661.493.809,66)
|
-2,85%
|
2010
|
25.815.783.567,08
|
3.289.696.935,53
|
14,60%
|
2011
|
34.732.637.782,06
|
8.916.854.214,98
|
34,54%
|
2012
|
34.046.543.400,00
|
(686.094.382,06)
|
-1,98%
|
Sumber: Data didapat dari Dinas Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Palangkaraya (diolah)
Rasio ini mengukur seberapa
besar kemampuan pemda dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan
yang telah dicapainya dari periode ke periode berikutnya dilihat
dari realisasi pendapatan daerah.
Berdasarkan rasio
pertumbuhan PAD diatas pertumbuhan APBD kota Palangkaraya pada era pra OTDA
mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan hal ini terlihat dari kenaikan
sebesar 85% dari realisasi PAD tahun sebelumnya menunjukan bahwa ada kenaikan
dan meningkatnya minat masyarakat akan membayar pajak dan retribusi daerah
sehingga membantu meningkatkan laju perekonomian daerah dan kinerja keuangan
daerah berjalan positif. Namun hal ini tidak didukung realisasi PAD pada masa
OTDA, penurunan drastis disebabkan pos pajak dan retribusi daerah dan pos lain
termasuk dalam PAD tidak mengalami peningkatan sehingga rasio pertumbuhan
keuangan daerah menjadi negatif, pada tahun 2000 tingkat pertumbuhan mulai
merangkak positif naik ke tingkai nilai rasio pertumbuhan 5%. Pada masa pasca
OTDA dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2007 trend tingkat rasio pertumbuhan
mulai stabil, kenaikan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2002 hampir 40%
pendapatan terserap melalui pajak dan retribusi daerah dan hal ini sangat
menguntung kan pemda Palangkaraya untuk meningkatkan kinerja keuangannya.
Tingkat pertumbuhan realisasi PAD dengan nilai negatif ada pada tahun 2008 dan
2009, namun ditahun 2009 terlihat usaha pemda kota Palangkaraya untuk
menurunkan nilai rasio pertumbuhan menjadi dari -11% menjadi -2%, hingga 2010
dan2011 realisasi PAD meningkat meskipun ditahun 2012 penurunan PAD namun tidak terlalu signifikan.
Rasio
Kontribusi
Rasio kontribusi ini untuk
mengetahui seberapa besar kontribusi penerimaan komponen dalam PAD terhadap
pendapatan asli daerah setiap tahunnya dalam persentase, dapat dihitung dari
realisasi jumlah pajak / retribusi daerah dibandingkan dengan jumlah PAD pada
tahun anggaran yang sama.
Tabel 6 Analisis Rasio Kontribusi APBD Kota Palangkaraya
Tahun
|
REALISASI PAD
|
Pajak Daerah
|
Retribusi daerah
|
Rasio Kontribusi
|
1997/1998
|
2.508.979.663,48
|
1.072.875.768,00
|
1.160.381.577,00
|
89,01%
|
1998/1999
|
3.908.862.053,00
|
1.491.008.000,00
|
1.619.475.677,00
|
79,58%
|
1999/2000
|
3.351.057.821,00
|
2.034.726.274,00
|
926.458.146,00
|
88,37%
|
2000
|
3.520.850.000,00
|
1.958.800.000,00
|
841.050.000,00
|
79,52%
|
2001
|
4.777.180.000,00
|
2.597.640.000,00
|
1.769.740.000,00
|
91,42%
|
2002
|
7.741.340.000,00
|
3.765.900.000,00
|
3.063.530.000,00
|
88,22%
|
2003
|
8.981.600.000,00
|
4.868.430.000,00
|
3.101.530.000,00
|
88,74%
|
2004
|
10.107.040.000,00
|
5.097.090.000,00
|
3.325.300.000,00
|
83,33%
|
2005
|
13.666.410.000,00
|
5.849.020.000,00
|
3.638.990.000,00
|
69,43%
|
2006
|
17.550.620.000,00
|
6.810.870.000,00
|
4.864.440.000,00
|
66,52%
|
2007
|
26.084.865.283,38
|
9.450.405.272,35
|
7.608.898.970,50
|
65,40%
|
2008
|
23.187.580.441,21
|
9.173.436.279,00
|
8.446.860.418,00
|
75,99%
|
2009
|
22.526.086.631,55
|
10.116.829.715,00
|
8.107.139.926,00
|
80,90%
|
2010
|
25.815.783.567,08
|
13.858.506.914,00
|
7.964.837.084,00
|
84,53%
|
2011
|
34.732.637.782,06
|
23.188.668.150,26
|
8.653.971.962,00
|
91,68%
|
2012
|
34.046.543.400,00
|
22.923.522.450,00
|
6.681.839.697,00
|
86,96%
|
Sumber: Data didapat dari Dinas Pendapatan,
Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Palangkaraya (diolah)
Hasil
rasio keuangan tersebut selanjutnya akan digunakan untuk tolak ukur dalam:
- Mengukur efektifitas dalam merealisasikan pendapatan daerah.
- Melihat pertumbuhan / perkembangan perolehan pendapatan yang terjadi selama periode waktu tertentu.
- Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.
Rasio kontribusi diatas menunjukan bahwa pada masa pra
OTDA kenaikan realisasi PAD, pajak dan retribusi daerah tidak diimbangi oleh
nilai rasio kontribusi hal ini dikarenakan kenaikan pajak dan retribusi daerah masing-masing
kenaikannya hanya 28% dari tahun sebelumnya, sehingga dapat dikatakan pada saat
itu pajak dan retribusi daerah kontribusinya masih kurang dalam meningkatkan
PAD. Pada era OTDA rasio kontribusi mengalami peningkatan cukup signifikan
88.37% namun kontribusi retribusi sangat kurang turun 43% dari tahun sebelum
OTDA kemudian mengalami penurunan kembali ditahun 2000 turun 10% dan kontibusi
pajak daerah juga megalami penurunan ditahun 2000 namun tidak terlalu
signifikan. Pasca OTDA trendnya rasio kontribusi fluktuatif meskipun PAD relatif mengalami peningkatan, sektor pajak dan
retribusi daerah juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 s/d 2008 nilai
rasio kontribusi kurang optimal meskipun kenaikan dari pajak dan retribusi
daerah signifikan. Pada tahun 2001 dan 2011 rasio kontribusi menunjukan nilai
yang optimal 91,42% dan 91,68% bisa dikatakan pada tahun tersebut kontribusi
pajak dan retribusi daerah sangat besar. Rata-rata nilai rasio kontribusi 81%
hal ini menunjukan bahwa pada era pasca OTDA kinerja keuangan daerah relatif
stabil peningkatan PAD diimbangi dengan kontribusi pajak dan retribusi daerah.
Grafik1
Sumber:
Data didapat dari Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota
Palangkaraya (diolah)
Grafik 2
Sumber:
Data didapat dari Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota
Palangkaraya (diolah)
Kesimpulan
Kinerja Keuangan
Daerah Pra OTDA (1997/1998)
Rasio kemandirian pada masa pra OTDA relatif kecil seperti pajak daerah, retribusi daerah
laba badan usaha milik daerah pos penerimaan dari dinas-dinas, karena
pendapatan PAD belum dapat dinikmati sepenuhnya oleh daerah karena masih
tersedot kepusat, rasio efektivitas
mengalami peningkatan karena masih diatas 100% dan realisasi PAD lebih besar
dibandingkan target yang direncanakan daerah.
Rasio aktivitas dimana alokasi
dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan belum optimal karena konteksnya pada saat itu tidak ada DAU bantuan
pemerintah saat itu masih dalam bentuk pos Bagian Sumbangan dan Bantuan serta
Bagian Penerimaan Pembangunan. Rasio pertumbuhan mengalami peningkatan yang
signifikan kontribusi pajak dan retribusi daerah besar dan keberhasilan
kinerjanya masih bisa dipertahankan. Rasio kontribusi masih stabil tapi tidak
dapat mengimbangi kenaikan rasio pajak dan retribusi daerah yang menopang
realisasi PAD
Penyelenggaraan pemerintah daerah saat itu mengacu
pada UU No.5 tahun 1974 dan UU No.5 tahun 1979 yang sifatnya masih otonomi yang
diharapkan pemerintah pusat kepada daerah, saat tahun tersebut era pemerintahan
Orde Baru yang menuju masa transisi yang sistem pemerintahannya terpusat atau sentralisasi
dan belum ada pemerataan perekonomian ke semua wilayah. Meskipun dalam
peraturan terdapat asas pembantuan, asas dekonsentrasi dan asas desentralisasi dimana
urusan yang diserahkan sebagai pelaksanaan asas desentralisasi akan tetapi
tanggung jawab terakhir terhadap urusan tersebut tetap berada ditangan
pemerintah pusat dan ADRT daerah tetap diatur oleh pemerintah. Hal ini
menunjukan bahwa selama itu pemerintah pusat tidak berani melepaskan secara
sifat daerah yang dikatakan otonom dan memberikan bukti bahwa kinerja keuangan
daerah saat itu kondisinya labil meskipun masih berjalan tapi tetap pengelolaan
terakhir dipegang pemerintah pusat sehingga semua kekayaan daerah lebih banyak
dinikmati pusat.
Kinerja
Keuangan Daerah OTDA (1999/2000)
Rasio kemandirian pada masa OTDA mengalami penurunan
begitu juga dengan realisasi PAD dan bantuan pemerintah dan provinsi dari tahun
sebelum OTDA penyerapan dana ini memunculkan pos baru seperti Pos Subsidi
Daerah Otonom dan beberapa pos yang berganti nama. Rasio efektivitas meskipun
mengalami penurunan setelah tahun sebelum OTDA namun realisasi PAD lebih besar
dibandingkan target PAD diatas 100% kinerja keuangan daerah saat itu sangat efektif.
Rasio aktivitas kinerja keuangan negatif artinya masih dalam kondisi
ketimpangan kemampuan keuangan daerah karena pada saat masih belum ada DAU karena
saat itu yang penyerapan dana di pos Subsidi Daerah Otonom yang nantinya digantikan oleh Dana Alokasi
Umum (DAU) hal ini menunjukan bahwa prioritas alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja
pembangunan belum
optimal. Rasio pertumbuhan
menunjukan bahwa realisasi PAD berkurang dari tahun sebelumnya sehingga
menyebakan nilai rasio pertumbuhannya negatif artinya pemda tidak mampu
menunjukan kinerja keuangan yang berdampak baik karena tidak bisa
mempertahankan dan tidak mampu melanjutkan keberhasilan realisasi PAD dari
tahun sebelumnya. Rasio kontribusi menunjukan kontribusi dari retribusi daerah
masih minim karena tidak mampu menembus diatas 1 M, namun melalui rasio
kontribusi kinerja keuangan daerah masih relatif stabil.
Pada tahun 1999 merupakan masa peralihan dari orde
baru ke era reformasi pembenahan diberbagai bidang mulai dilakukan,
masing-masing diberikan otonomi yang seluasnya untuk mengelola kekayaan
daerahnya masing-masing. Pergantiaan peraturan yaitu diberlakukannya UU no.22
tahun 1999 pemberian kewenangan otonomi kepada daerah kabupaten dan kota
desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas nyata dan bertanggung jawab dalam
kewenangan yang luas selain dibidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan
peradilan,moneter, agama, fiskal dan kewenangan bidang lain yang tidak termasuk
bagian kewenangan daerah yang diatur undang-undang. Pada saat itu kondisi
perekonomian Indonesia menunjukan adanya perbaikan laju PDB mulai merangkak
positif dengan
laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan
tingkat suku bunga (SBI) juga rendah, mencerminkan bahwa kondisi moneter di
dalam mengerti sudah mulai stabil. Meskipun skala nasional stabilitas moneter mulai
berjalan namun kinerja keuangan daerah kota Palangkaraya masih belum stabil
karena banyak pembenahan secara reformasi didareah-daerah memperkuat otonominya
masing.
Kinerja
Keuangan Daerah Pasca OTDA (2001/2012)
Rasio
kemandirian daerah pasca OTDA fluktuasi berjalan relatif stabil dalam artian
dari tahun ke tahun daerah sudah bisa meningkatkan realisasi PAD hal tersebut
diimbangi dengan pemberian bantuan dari pemerintah pusat/provinsi tingkat rasio
kemandirian fluktuatif.dan perubahannya pun tidak signifikan. Rasio efektivitas
berfluktuatif terhadap realisasi PAD, nilai rasio menunjukan tahun 2001 dan
2002 cukup efektif, tahun 2003 nilai rasio tidak efektif karena < dari 75%, sebaliknya nilai rasio
tahun 2005-2007 sangat efektif, namun secara keseluruhan kinerja keuangan
dilihat dari rasio efektivitas cukup efektif. Rasio Aktivitas didukung oleh
adanya Dana Alokasi Umum sehingga kontribusinya signifikan selama beberapa
periode, jika pembiayaan kondisi defisit maka daya dukung realisasi PAD dan
dana pemberian pemerintah bisa menutupi belanja wajib dan kesanggupan pemda
untuk tidak memakai hutang jangka panjang untuk membiayai belanja
daerah.Meskipun di dukung DAU namun selama tahun 2003-2006 tidak ada pembayaran
bunga dan pokok pinjaman, sedangkan pada tahun 2007-2010 nilai rasio DSCR
sangat tinggi berarti priorotas dana ditujukan untuk belanja pembangunan Pinjaman jangka panjang digunakan untuk membiayai
pembangunan yang dapat menghasilkan
penerimaan kembali untuk pembayaran pinjaman dan pelayanan masyarakat. Namun pada tahun 2011 dan
2012 nilai DSCR turun drastis prioritas dana kembali ditujukan untuk belanja
rutin dibandingkan dengan belanja pembangunan. Rasio pertumbuhan menunjukan
hasil yang fluktuatif, sempat beberapa kali nilai rasio pertumbuhannya negatif
seperti ditahun 2008, 2009 dan 2012 pemda masih belum dapat meningkatkan kemampuan
dalam
mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapainya selama beberpa periode,
meskipun begitu kenaikan realisasi PAD stabil. Rasio kontribusi cenderung
fluktuatif dan selama beberapa periode menujukan bahwa kontribusi pajak dan
retribusi cukup efektif.
UU No.22
Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan pusat lalu disusul dengan PP No.25 Tahun 2000 tentang
kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom menjadi tolak
ukur bagi pemda kota Palangkaraya untuk melaksanakan kinerja keuangan daerah
secara transparan dan akuntabilitas sehingga pemda diberi kesempatan untuk
melaksanakan kewenangan untuk menggali potensi alam dan menggali sumber
keuangan maupun PAD. Meskipun PAD secara umum
meningkat, namun persentasenya terhadap total penerimaan masih di bawah 10%. Proyeksi
Keberhasilan Terwujudnya akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang bebas dari KKN. Aparatur pemerintah yang profesional,
bertanggung jawab dan memiliki kopetensi yang sesuai dengan bidang tugasnya.
Meningkatnya sumbangan PAD dalam total penerimaan APBD dan
tercapai/terlampauinya target yang ditetapkan dalam RPJM. Pemerintah kota Palangkaraya
mampu menunjukkan kinerja yang sesuai dengan harapan ditetapkannya sebagai
salah- satu daerah percontohan penerapan good governance. Maka Kinerja Keuangan pemda kota Palangkaraya relatif
stabil.
Daftar
Pustaka
- http://palangkaraya.go.id/
- http://bappeda.palangkaraya.go.id/
- http://portal.kopertis2.or.id/jspui/bitstream/123456789/210/1/Rudi32.pdf
- http://dglib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=3188
- http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5Ckemandiriandaerah.pdf
- http://www.anneahira.com/otonomi-daerah.htm
- http://www.slideshare.net/doramey/rpjp-kota-palangka-raya
- http://www.slideshare.net/doramey/rpjp-kota-palangka-raya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar